![]() |
Direktur Renmin Tiedaobao, Wang Xiong,didampingi sejumlah pimpinan di media itu, ketika berdialog dengan delegasi PWI di Beijing, Jumat(25/11/2016) lalu.(Foto: A.Yomo) |
Wang Xiong : “ Selain media cetak, perusahaan ini juga memiliki Televisi dan Media online yang semuanya dikelola secara professional”
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), selama
satu minggu (25 November – 1 Desember ) Tahun 2016, melakukan kunjungan ke beberapa kota besar di Negara Republik Rakyat
China(RRC). Apa saja yang dilakukan delegasi PWI di Negeri Tirai Bambu ini? Saya akan berbagi ceritanya...
Jumat(25/11), Pukul 5.30 Waktu Beijing atau pukul 6.30 WIT, Pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 890, mendarat dengan mulus di Beijing Capital Airport. Dalam pesawat jenis air bus milik PT.Garuda Indonesia itu, turut serta sembilan orang delegasi PWI, yakni Ketua Bidang Luar Negeri PWI, Teguh Santosa, Ketua PWI Jawa Timur Akhmad Munir, Sekretaris PWI Papua Alberth Yomo, Ketua PWI Kalimantan Selatan Faturrahman Jamhari Samad, Ketua PWI Sulawesi Tengah Mahmud Matangara, Dewan Penasihat PWI Kalimantan Selatan Rusdi Effendi Abdurrachman, Ketua PWI Lampung Supriyadi Alfian, Dua Direktur Confederation of ASEAN Journalist (CAJ) Bob Iskandar dan Dar Edi Yoga.
Keluar pintu pesawat yang langsung terhubung ke Garbarata, suhu dingin Kota Beijing mulai terasa. Setelah melewati pemeriksaan imigrasi dan pengambilan bagasi, delegasi PWI langsung menuju pintu keluar Bandara. Mrs. Zhang Yang, seorang pendamping dari Persatuan Wartawan Tiongkok menyambut delegasi PWI Indonesia dengan hangat, dan langsung diarahkan menuju Bus. Saat itu, suhu minus 4 derajat celcius benar-benar terasa hingga menembus tulang. Namun, beruntung jarak ke Bus tak terlampau jauh, sehingga tubuh kembali hangat setelah berhasil masuk dalam Bus.
Perjalanan dilanjutkan dari Beijing Capital Airport menuju Hotel di pusat Kota Beijing. Kurang lebih satu jam perjalanan, delegasi PWI tiba di hotel. Istirahat 30 menit di Hotel, delegasi PWI kemudian berangkat ke kantor Harian Jalan Kereta Api Rakyat ( Renmin Tiedaobao) dan melanjutkan pertemuan dengan pimpinan dan staf di kantor tersebut.
Direktur Renmin Tiedaobao, Wang Xiong, yang didampingi sejumlah pimpinan media massa itu, merasa tersanjung dengan kehadiran tim sembilan dari PWI.” Saya menyampaikan terima kasih kepada delegasi dari Indonesia, karena dari Indonesia yang jauh, bisa datang ke kantor kami. Ini suatu kehormatan dan kebanggaan bagi kami,” ucap Wang Xiong.
Wang Xiong kemudian menjelaskan tentang Koran Renmin Tiedaobao. Menggunakan bahasa mandarin yang kemudian diterjemahkan oleh Mr.Gu Hong Fu, Wang Xiong menjelaskan, bahwa media Renmin Tiedaobao lahir pada 1 Mei 1949. Media ini merupakan milik Negara, di bawah Perusahaan Kereta Api. Dari waktu ke waktu, fokus pemberitaan media ini, hanya pada perkembangan Kereta Api di China. Persentasenya 80 persen untuk berita kereta api, 20 persennya untuk berita ekonomi dan lain-lain.
“Oplah Koran ini sebesar 340 ribu setiap hari. Hanya delapan halaman, dan tersebar di semua kereta api yang ada di China. Dengan tenaga kerja 250 orang, media ini mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perusahaan maupun Negara,” kata Mr.Gu, menirukan pernyataan Wang Xiong.
Karena focus pemberitaan Koran ini hanya pada perkereta apian, tak heran jika Direkturnya, Wang Xiong sangat menguasai perkembangan perkeretaapian di China secara detail dari waktu ke waktu. Meskipun sebagai Direktur sebuah perusahaan media massa, namun,soal pengetahuuan Kereta Api, Wang Xiong tak kalah dengan Direktur Perusahaan Kereta Api.
Setelah berdialog dan tanya jawab dengan delegasi PWI, Wang Xiong dan stafnya mengajak delegasi Indonesia melihat dari dekat tempat percetakan Koran, ruang redaksi dan ruang penyiaran televise. “Jadi, selain media cetak, perusahaan ini juga memiliki Televisi dan media online yang semuanya dikelola secara professional,”kata Wang Xiong.
Ketua Bidang Luar Negeri PWI, Teguh Santosa
memberikan apresiasi yang tinggi kepada Pengelola Media Renmin Tiedaobao. Teguh
berharap, di waktu mendatang, Pimpinan Renmin Tiedaobao dapat membuka diri
untuk menerima orang Indonesia yang ingin belajar tentang pengeloaan media dan
ilmu tentang perkeretaapian di China, melalui kantor Renmin Tiedaobao.
Shen Minjuan : "Kami sama sekali tidak pernah memikirkan untuk memasukkan
ideologi kami ke Indonesia.”
Setelah melakukan
pertemuan dengan para pimpinan Harian Jalan Kereta Api Rakyat ( Renmin
Tiedaobao), sembilan delegasi PWI yang dipimpin Ketua Bidang Luar Negeri PWI,
Teguh Santosa, pada hari yang sama, Jumat(25/11) sore, melanjutkan kunjungan
diplomasi ke Kementerian Luar Negeri RRC.
Tidak seperti di
Indonesia, yang setiap pintu masuk halaman gedung pemerintah dijaga oleh Satpol
Pamong Praja atau Satpam, di RRC, pengamanan gedung Pemerintahan justru dijaga
langsung oleh Tentara RRC. Setelah mendapatkan restu dari pos jaga, delegasi
PWI langsung diarahkan menuju ruang pertemuan.
Beberapa saat
menunggu, rombongan PWI ini kemudian diterima Direktur ASEAN Kementerian Luar
Negeri Republik Rakyat China (RRC), Shen Minjuan. Dalam pertemuan itu, delegasi
PWI menyampaikan beberapa pandangan sebagian rakyat Indonesia terhadap hubungan
Cina dan Indonesia, salah satu diantaranya tentang paham komunis Cina yang
dikuatirkan akan mempengaruhi Ideologi Pancasila di Indonesia.
Menanggapi pernyataan
itu, Shen Minjuan menyatakan, dalam hubungan antara Indonesia dan Tiongkok,
pihak Tiongkok sama sekali tidak pernah berpikir untuk memasukkan ideologi
komunisme yang mereka percaya ke Indonesia.
"Kami sama sekali
tidak pernah memikirkan untuk memasukkan ideologi kami ke Indonesia. Jikalau
Indonesia bilang bahwa ideologi itu (komunisme) sudah terbukti tidak cocok bagi
Indonesia, ya itulah kenyataan di Indonesia," ujar Shen Minjuan.
Shen Minjuan yang
pernah bertugas di Indonesia tentu mengetahui bahwa ada semacam trauma yang
berkembang di tengah masyarakat Indonesia setiap kali mendengar kata komunisme.
Namun demikian, sampai sekarang dirinya masih tidak begitu mengerti mengapa
komunisme selalu menjadi hantu di Indonesia, dan bahkan diidentikkan dengan
Tiongkok.
Tidak seperti di
Indonesia yang trauma dengan komunisme, di Tiongkok paham itu berbuah
pembangunan dan kesejahteraan.
“Bapak-bapak di sini
dan tahu Tiongkok di bawah kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok, dan sudah
terbukti Partai Komunis Tiongkok sukses membangun negara Tiongkok. Dan itu
suatu bukti bahwa Partai Komunis Tiongkok dapat mencarikan jalan perkembangan
yang sesuai untuk Tiongkok,” urainya.
Sikap RRC atau
Tiongkok dalam hal ini sudah jelas, yakni tidak mempersoalkan model pembangunan
dan ideologi yang diyakini negara lain sebagai dasar dalam proses pembangunan.
"Kami selalu
mengatakan, setulus-tulusnya, bahwa kami sangat senang kalau negara -negara
yang lain juga mendapatkan jalan perkembangan yang sesuai dengan negara
sendiri." kata dia lagi.
Khusus untuk
Indonesia, RRC senang karena Indonesia mengalami kemajuan yang berarti dan
sukses dalam demokrasi. Dan sekarang sudah mempunyai presiden yang datang dari
rakyat,” kata dia.
Bagi Shen Minjuan, Indonesia adalah negara yang
istimewa. Dirinya pernah dua kali bertugas di Jakarta dan terakhir kali di
tahun 2014 dirinya bertugas sebagai Konsuler di Kedutaan RRC. Jauh sebelum itu,
saat masih mempelajari bahasa Indonesia di Universitas Beijing, ShenMinjuan
mendapatkan nama Indonesia dari seorang dosennya, yakni Kartini.
"Waktu itu saya
belum tahu bahwa Kartini adalah nama seorang pahlawan. Nama itu diberikan
kepada saya, agar lebih sering mengucapkan huruf R” yang bagi saya sulit untuk
diucapkan," katanya sambil tertawa kecil.
Shen Minjuan
mengatakan, hubungan bilateral Indonesia dan Tiongkok berakar dari masa lalu,
dan memberikan keutungan bagi kedua negara. Meskipun hubungan sempat terputus,
tapi Indonesia yang mengajak China dalam pertemuan Asia Afrika. Kerjasama di
bidang kebudayaan sangat baik, lagu Begawan Solo dan sejumlah lagu lainnya.
Segi politik, Presiden
Jokowi sudah tiga kali berkunjung ke Tiongkok, dan sudah lima kali bertemu
dengan presiden Tiongkok.
Ekonomi Tiongkok
terbesar kerjasama dengan Indonesia. Urutan ketiga Indonesia bagi Tiongkok,
setelah Malaysia dan Singapura. “Indonesia salah satu negara yang sangat
penting. Apalagi dengan adanya poros Maritim bisa disinergikan dengan
Tiongkok.”
Peran media semakin
penting dalam penyajian pemberitaan soal perkembangan Tiongkok maupun tentang
Indonesia. “Tiongkok sudah banyak mengirim wartawan bertugas di Indonesia.
Sebaliknya, Deplu mengharapkan bagi Indonesia bisa menugaskan wartawan di
Tiongkok,” harapnya.
Sementara itu, Ketua
Bidang Luar Negeri, Teguh Santosa berharap tanggapan sebagaimana dikemukakan
oleh Direktur ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat China (RRC), Shen
Minjuan adalah jawaban atas kekuatiran rakyat Indonesia. Namun, teguh berpesan
agar Kedutaan Besar RRC di Indonesia, bisa lebih terbuka kepada media di
Indonesia, untuk menanggapi berbagai isu tentang hubungan Cina dan Indonesia,
sehingga tidak membias ke mana-mana, seperti yang terjadi selama ini.

Salah satu delegasi PWI, Bob Iskandar, saat menyapa pendengar CRI lewat ruang siaran Bahasa Indonesia, di dampingi Direktur Bahasa Indonesia CRI, Li Shukun, di kantor CRI, Sabtu(26/11/2016).
Li Shukun : “Bahasa Indonesia merupakan satu
di antara 65 bahasa yang digunakan CRI. Kalau di Indonesia, CRI memiliki banyak
kesamaan dengan Radio Republik Indonesia (RRI).”
Usai berkunjung ke gedung Kementerian Luar Negeri RRC dan berdiskusi dengan Direktur ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat China (RRC), esok harinya, Sabtu(26/11), tim PWI melanjutkan kunjungannya ke kantor Radio Republik Rakyat China atau China Radio Internasional(CRI).
Hari Sabtu itu, sebenarnya hari libur kerja semua pegawai pemerintahan di China, termasuk di kantor CRI, yang terletak di salah satu kawasan sibuk di pusat Kota Beijing, yakni 16A Shijingshan Road.Namun, delegasi PWI sangat beruntung, karena salah satu Direktur CRI mau meluangkan waktunya untuk menerima kunjungan PWI.
Li Shukun, Direktur Siaran Bahasa Indonesia di China Radio International (CRI) dengan menggunakan batik Indonesia, ia menyapa 9 delegasi PWI dengan bahasa Indonesia .” Selamat datang, apa kabar?” demikian Li Shukun menyapa sambil berjabatan tangan dengan 9 delegasi PWI.
Setelah berbasa basi sejenak, Li Shukun kemudian menjelaskan tentang CRI. Katanya, Bahasa Indonesia merupakan satu di antara 65 bahasa yang digunakan CRI. Kalau di Indonesia, CRI memiliki banyak kesamaan dengan Radio Republik Indonesia (RRI).
Perbedaannya, RRI berstatus lembaga penyiaran publik. CRI yang sepenuhnya dibiayai negara berfungsi sebagai corong pemerintah Tiongkok dalam menginformasikan kondisi negara tersebut ke dunia internasional. Karena itu, radio yang beroperasi sejak 1948 tersebut melakukan siaran dalam 65 bahasa internasional dan Mandarin lokal.
Saat ini CRI tidak mengudara secara live. Namun mengandalkan siaran lewat streaming di internet, terutama melalui media sosial macam Twitter, YouTube, Facebook, atau media sosial bikinan Tiongkok Weibo. Beberapa tahun belakangan CRI bekerja sama dengan salah satu radio swasta di Jakarta yang memiliki jaringan ke sejumlah kota di Indonesia.
Salah satu program unggulannya adalah Lensa Interaktif atau Lentera. Program tersebut mengudara pada jam prime time. Lentera cukup diminati para pendengar muda. Tidak jarang mereka curhat lewat program Lentera.
”Sayang, kerja sama itu terpaksa putus awal 2014 karena radio di Jakarta tersebut sedang fokus menggarap isu pemilu,” ungkapnya.
Program lain yang cukup diminati pendengar di Indonesia adalah Blitz Asia. Program itu disiarkan lewat streaming di akun Facebook Lentera dan Indo CRI. Para netizen biasa mendengarkan lagu-lagu Asia dalam program tersebut. ”Ketika proses pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia, kami juga update beritanya dengan mengontak pihak KBRI langsung,” ucap Li.
Program siaran berbahasa Indonesia mengudara sejak 1951. Meski hubungan Indonesia dengan Tiongkok sempat putus pada 1965 akibat peristiwa G 30 S/PKI, namun program siaran berbahasa Indonesia tidak terhenti. Saat ini CRI menempatkan dua koresponden di ASEAN. Seorang berada di Jakarta bernama Indrawan dan seorang lagi menjadi koresponden di Singapura, Sarah Chow.
Lewat program-program macam Lentera dan Blitz Asia, CRI mempromosikan Tiongkok kepada pendengar di Indonesia. Ada pula program yang dinamakan Beijing Banget. Program berbahasa Indonesia mengudara lima jam dalam sehari.
Harapannya, pendengar di Indonesia semakin mengenal Tiongkok dan tidak ragu untuk datang ke Negeri Tirai Bambu tersebut.
Program-program serupa dibuat dalam berbagai bahasa dengan konten yang disesuaikan dengan selera pendengar di tiap negara. Lewat siaran tersebut, perlahan tapi pasti informasi seputar Tiongkok mengudara di seluruh penjuru dunia.
Setelah menjelaskan tentang program CRI, Li kemudian mengantar delegasi PWI melihat ruang redaksi khusus Bahasa Indonesia dan memberikan kesempatan kepada tim PWI untuk mencoba menyiar. Salah satu delegasi PWI,Bob Iskandar yang pernah menjadi reporter Radio, langsung duduk di meja siaran, dan menyapa pendengar CRI.
Sebelum meninggalkan kantor CRI, delegasi PWI
diantar melihat souvenir-souvenir dari pendengar CRI dan petinggi-petinggi negara lain yang dipajang
di salah satu ruangan, dan diakhiri dengan pertukaran cinderamata antara CRI
dan PWI.

Tim 9 delegasi PWI saat tiba di Bandara Hangzhou.
“Kami semua terkagum-kagum
melihat desa di Anji. Ibaratnya seperti langit dan bumi, jika di bandingkan
dengan Indonesia.”
Setelah pertemuan
dengan pimpinan media Renmin Tiedaobao, Direktur ASEAN Kementerian Luar Negeri
Republik Rakyat China (RRC) dan Direktur
Siaran Bahasa Indonesia di China Radio International (CRI), delegasi PWI yang
difasilitasi All China Journalists
Association, melanjutkan kunjungan diplomasi pers ke Kota Hangzhou, Provinsi
Zhejiang.
Banyak yang berpendapat
bahwa Tiongkok terkenal dengan empat zhou- nya, yaitu : Guangzhou (kanton)
terkenal dengan wanitanya yang pinter masak, Suzhou (kota dekat Shanghai) yang terkenal dengan wanita yang
cantik, Langzhou, terkenal dengan tempat penghasil kayu-kayu yang bagus, dan
Hangzhou : sorga di bumi, terkenal dengan pemandangan yang indah.
Hangzhou adalah
ibukota dari provinsi Zhejiang, salah satu dari tujuh kota tua terbesar di
Tiongkok. Hangzhou terletak di tepian sungai Qintang. Dan kanal besar
Beijing-Hangzhou terdapat di ujung selatan sungai Qiantang. Hangzhou yang
memiliki luas wilayah sekitar 340 kilometer persegi, berpenduduk sekitar 1,12
juta jiwa.
Hangzhou adalah kota
dengan sejarah dan kebudayaan yang kaya. Nama Hangzhou pertama sekali
diperkenalkan pada abad keenam, ketika Kanal Megah terbuka dan menghubungkan
antara satu daerah perdagangan dengan daerah pusat perdagangan lainnya seperti
Suzhou. Pada masa Dinasti Song Selatan, telah turut membantu menjadikan
Hangzhou sebagai kota terkenal ketika mereka menjadikan Hangzhou sebagai
ibukota Tiongkok pada abad ke-12.
Hangzhou juga
merupakan pusat politik, ekonomi, kebudayaan dan transportasi di provinsi
Zhejiang juga kota penghasil sutera terbesar di Tiongkok dan mempunyai sejarah
lebih dari 1000 tahun dalam pengelohan teh, memiliki beberapa industri penting
yang menjadi penyangga kota ini, antara lain, industri mesin, bahan tekstil,
dan kimia dengan menghasilkan GDP tahunan di atas 7,72 miliar yuan RMB.
![]() |
| Nampak delegasi PWI ketika melihat produk-produk yang dipajang di museum bambu Anji. Bahan bakunya semua berasal dari bambu.(Yomo) |
Sementara itu, di
Hangzhou terdapat berbagai hasil produksi dari penduduk setempat, seperti teh
Longjing, anggur beras Shaoxing, kain sutera, payung sutera khas Danau Barat,
barang-barang yang terbuat dari bambu, seperti sumpit bambu Danau Barat,
berbagai karya pahatan batu Qingtian, pahatan kayu Dongyang, dan lain
sebagainya.
Perjalanan tim sembilan delegasi PWI dari Beijing ke Hangzhou, menggunakan pesawat China Airlines.Perjalanan dari Beijing ke Hangzhou kurang lebih 2 jam, dan disambut perwakilan dari All China Journalists Association Provinsi Hangzhou.
Delegasi PWI kemudian
diantar ke Hotel Hai Hua Kota Hangzhou untuk beristirahat. Pagi harinya, sembilan delegasi PWI ini
difasilitasi berangkat ke Kabupaten Anji melihat pusat pengelolaan dan industri
bambu serta museum bambu yang tersohor di negeri itu.
Kurang lebih satu jam
perjalanan dari Kota Hangzhou, melewati sejumlah terowongan bawah tanah yang
dibuat melintasi gunung-gunung, akhirnya kami memasuki Kabupaten Anji yang
terlihat hijau dan asri.Jalur terowongan ternyata begitu ramah lingkungan,
karena tidak merusak hutan atau ekologi di wilayah itu secara luas.
Walaupun jauh dari
pusat Kota, namun Anji terlihat bagai kota kecil yang bersih indah dan menawan.
Kami tidak merasa berada di pelosok, tapi seakan berada di sebuah Kota besar
yang memiliki gedung-gedung tinggi.
Bahkan ketika meninjau
suatu tempat yang disebut desa, kami tidak melihat itu seperti sebuah desa
sebagaimana yang lasim di Indonesia. Kami semua terkagum-kagum melihat desa di
Anji. Ibaratnya seperti langit dan bumi, jika di bandingkan dengan Indonesia.
Anji adalah sebuah
Kabupaten di Provinsi Zhejian. Tempat ini dikenal sebagai sentra produksi
tanaman bambu. Bambu Garden di Anji di bangun tahun 1974 oleh Pusat Penelitian
Kehutanan Sub Tropis China, dengan luas 80 hektar.
Awalnya ada sekitar
300 spesies dari seluruh negara yang di kelolah di sini, namun, pada akhir
2013, hanya 211 spesies yang bertahan dan tumbuh dengan baik, dan ini merupakan
koleksi terlengkap di dunia.Bahkan ada bambu asal Indonesia, yang merupakan
bambu dengan ukuran terbesar yang dimuseumkan di Museum ini.
Kemudian pada tahun
2014, kebun bambu ini di tata ulang untuk kepentingan wisata yang ramah
lingkungan. Pada 2015, ada sekitar 100 spesies bambu yang baru ditambahkan,
tentunya ini jadi menarik dan menambah daya tarik tersendiri.
Selain koleksi Bambu
Garden, Anji juga memiliki museum bambu dan taman panda yang menarik. Museum
ini dibuka akhir tahun 2000 dengan luas 12.000 meter persegi. Terdapat 8
ruangan untuk memamerkan berbagai produk dari Bambu.Delegasi PWI sampai
menggunakan mobil khusus, untuk menyusuri taman hingga masuk ke museum bambu,
bahkan melihat dua ekor panda di taman.
Taman panda di museum
bambu ini, hanya di huni dua ekor panda. Keberadaan dua ekor panda di museum
bambu ini hanya sebagai hiburan untuk pengunjung museum bambu. Jika pengunjung
ingin melihat panda yang banyak, disarankan ke Chengdu Panda Breeding Base.
Bambu merupakan
industri besar di Anji. Kita akan melihat bambu yang tumbuh tidak hanya di
dalam taman, tetapi juga pada sisi jalan dan hampir di semua sudut lansekap, di
sisi jalan sepanjang pegunungan yang menyediakan bahan baku untuk industri
pengolahan bambu. Bahkan pada taksi dan bus ada iklan bambu, kita akan melihat
bambu. Toko produk bambu, pasar, bengkel rumahan, pabrik-pabrik modern,
truk-beban transportasi bambu dll, kita akan merasa bambu di setiap sudut
Anji.Bahkan sampai makanan, minuman, pakaian dan sepatu, semuanya dari bahan
baku bamboo.

Tim Sembilan Delegasi PWI bersama tim managemen media perkeretaapian China.
Chen Fangzhu : “Media massa di Republik Rakyat Tiongkok
tidak memberikan tempat kepada iklan politik individu”
Setelah melihat pusat
pengelolaan dan industri bambu serta museum bambu di Kabupaten Anji, delegasi
PWI berkunjungan ke Grup Radio dan Televisi serta Koran Harian Zhejiang.
Grup Radio, Televisi
dan Koran Zhejian merupakan grup media terbesar di Provinsi Zhejiang. Grup
media ini memiliki 12 kanal televisi dan 8 stasiun radio serta karyawan
sebanyak 7.000 orang. Selain itu Grup RTZ juga memiliki sejumlah properti
seperti hotel dan gedung pertemuan.
Sehingga tak heran,
jika kesan pertama yang kita dapat saat memasuki gerbang kantor grup ini, pasti
wah dan mentereng.Pusat olahraga, kantin, toko dan segala kebutuhan yang
mendukung kerja karyawan, semua tersedia dalam kompleks ini.
“ Kami merasa
terhormat mendapat kunjungan dari Indonesia, kami sangat gembira dengan
kunjungan ini. Demikian disampaikan anggota Dewan Redaksi Grup Radio dan
Televisi Zhejiang, Chen Fangzhu, ketika menerima delegasi Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) di Hangzhou, ibu kota Provinsi Zhejiang.
Dalam diskusi yang
berlangsung kurang lebih satu jam, ada beberapa poin menarik yang dikutip dari
pertemuan itu. Pertama, ketika ditanya soal iklan politik individu, apakah juga
ditayangkan di media Zhejiang?ternyata tidak ada.
“Media massa di
Republik Rakyat Tiongkok tidak memberikan tempat kepada iklan politik individu.
Ini merupakan kebijakan yang berlaku di seluruh Negeri Panda itu,” ujar Chen
Fangzhu.
Media massa di
Tiongkok memiliki kepentingan yang sama dengan kepentingan partai, sementara
kepentingan partai sejalan dengan kepentingan negara.
"Keberpihakan
kami adalah pada kepentingan negara, bukan pada kepentingan kelompok apalagi
kepentingan individu. Tidak mungkin kami mengabdi pada kepentingan seseorang,”
jelasnya.
Chen juga mengatakan,
tempatnya bekerja, merupakan media terbesar di provinsi itu, memberikan 30%
dari total iklan untuk kepentingan publik alias gratis. Selain itu, ada lembaga
khusus yang mengontrol media di RRT. Kontrol dilakukan secara berlapis dan
bertingkat.
![]() |
| Sekretaris PWI Papua , Alberth Yomo ketika menyerahkan cinderamata kepada Wakil Pimred Zejiang Daily Press Group,Zhou Xiaotian, di Zhejiang, Rabu(30/11/2016) |
Masih menurut Chen,
kunci keberhasilan media adalah pada isi pemberitaan dan program. "Program
kami bukan untuk kepentingan kelompok atau individu, tapi untuk kepentingan
masyarakat umum. Kalau program baik, maka penonton juga baik dan iklan akan
banyak," kata dia lagi.
Dia juga sempat
membandingkan sistem media di Tiongkok dan di Indonesia. Di Tiongkok semua
media adalah milik negara. Sementara di Indonesia hampir semua media milik
swasta.
"Ini membuat
informasi media di Indonesia juga berpihak pada kepentingan pengusaha yang
memilikinya," kata Chen.
Dia mengatakan,
Presiden Tiongkok Xi Jinping beberapa kali mengingatkan agar media
mengedepankan kepentingan negara, partai dan masyarakat.
Selain itu, profesi
wartawan secara umum di Cina, merupakan profesi yang paling dicari tenaga
kerja. Status seseorang ketika menjadi wartawan adalah menengah ke atas, dengan
penghasilan yang lebih dari cukup.
Sekadar diketahui,
delegasi PWI berkunjung ke Tiongkok sejak tanggal 25 November lalu. Selain
bertemu dengan Kementerian Luar Negeri, delegasi yang dipimpin Ketua bidang
Luar Negeri PWI Teguh Santosa juga bertemu dengan kalangan wartawan dan media.
Sekretaris Jenderal
Asosiasi Wartawan Zhejiang, Jianhua mengatakan bahwa provinsi Zhejiang yang
berada di pantai timur Tiongkok merupakan provinsi terbesar keempat di
Tiongkok. Presiden Tiongkok Xi Jinping pernah menjadi gubernur di provinsi
Zhejiang. Perusahaan multimedia Alibaba yang dipimpin Jack Ma juga bermarkas di
Huangzhou.
Bulan September lalu,
Huangzhou menjadi tuan rumah KTT G-20 yang juga dihadiri Presiden RI Joko
Widodo. Sebelum jamuan makan malam, delegasi PWI mendapat kesempatan
mengeksplorasi Danau Xihu yang ada di seberang lokasi jamuan makan malam.
Anggota delegasi PWI
mengakhiri lawatannya ke Cina dengan kunjungan terakhir ke Perhimpunan Islam
Shanghai dan kota wisata Shanghai. Selanjutnya,
Kamis (1/12)pagi, terbang kembali ke tanah air dengan pesawat Garuda Indonesia.
Delegasi PWI yang
mengikuti kunjungan diplomasi pers ke China adalah anggota Dewan Penasihat PWI
Rusdi Effendi, Ketua PWI Lampung Supriyadi Alfian, Ketua PWI Jawa Timur Akhmad
Munir, Ketua PWI Kalimantan Selatan Faturrahman Samad, dan Sekretaris PWI Papua
Alberth Yomo. Dua Direktur Confederation of ASEAN Journalist (CAJ), Bob
Iskandar dan Dar Edi Yoga, juga ikut dalam rombongan.*)
Oleh : Alberth Yomo ( Tim Sembilan Delegasi PWI ke China Tahun
2016)




Luar biasa
ReplyDelete