Skip to main content

Hermus Indou dari Penggembala Sapi Menjadi Bupati

Tak ada yang menduga ketika seorang penggembala sapi bahkan pembantu penjual pisang goreng dan penjual es lilin di sekolah, kini menjadi seorang Bupati? Ya, dialah Hermus Indou, yang saat ini menjadi Bupati Kabupaten Manokwari periode 2021-2024.  “Saat masih kecil dulu, saya menjadi penggembala sapi, juga menjadi tukang pegang termos air panas dari penjual pisang goreng yang menjual es lilin di SMP Negeri Warmare,” cerita Bupati Manokwari, Hermus Indou tentang masa kecilnya.  Tak hanya itu, ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Manokwari, Hermus Indou menjadi pesuruh dari teman-teman sekolahnya untuk membeli sesuatu di luar sekolah. “Saya biasa disuruh teman-teman untuk beli pisang goreng. Setelah beli pisang goreng itu, saya juga dapat jatah, sehingga bisa makan pisang goreng juga,” kenangnya. Hal ini dilakukan Hermus Indou muda, agar dirinya tidak kelaparan di sekolah. Karena pada masa itu, adalah masa-masa yang sangat sulit baginya untuk mendapatkan uang, apala

The Burning Season - The Chico Mendes Story, Layak Ditonton Masyarakat Adat Papua

Dulu di Irian Jaya bahkan sampai menjadi Papua, saya dihipnotis dengan Film-Film action luar negeri, bahkan oleh Film Silat Indonesia. Sekarang baru saya sadar, ternyata film-film itu direkayasa. Film-film yang membuat bodoh. Tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Tapi sampai sekarang, kita di Papua masih suka nonton film seperti itu. Katanya hanya hiburan. Tapi hiburan kok dibawah sampai ke dalam doa.      ( Ingat cerita dari salah satu kampung, dimana ada Pendoa yang berdoa buat aktor-aktor film action hollywood supaya actor-actor film itu bisa bantu perjuangan kemerdekaan rakyat Papua).
Saya juga ingat cerita dari Mamberamo, ketika Ketua Pemuda salah satu kampung yang kami kunjungi itu menanyakan tentang di mana sekolah yang bisa mengajari anak-anak mereka menjadi seperti Pendekar yang jago silat, bisa menghilang dan terbang di udara. Di rumah Ketua Pemuda Kampung ini, saya melihat tumpukan puluhan DVD bajakan Film Silat Indonesia. Sampai-sampai mesin Genset tiap malam dihidupkan, hanya untuk menonton Film-Film itu.
Lebih gila lagi, ketika bahan bakar habis, warganya berpatungan untuk ke kota beli bahan bakar dan DVD baru seri film silat berikutnya.Padahal lama perjalanan dari kampung itu ke ibukota adalah dua hari menyusuri sungai dengan longboat. Dana Desa bahkan jadi korban demi film silat. Di usulan Proposal tujuannya untuk penerangan kampung dan pendidikan anak, tapi prakteknya beda. Bukan untuk menerangi anak-anak belajar membaca atau berhitung, tapi genset dan bensin tujuannya untuk berkumpul nonton Film Silat.
Mungkin kita harus saling mengingatkan kepada orang-orang di kampung,karena mereka lebih rentan. Ajak mereka untuk nonton film dari sebuah kisah nyata yang menginspirasi. Dari beberapa film kisah nyata yang saya tonton, Film "The Burning Season- The Chico Mendes Story" adalah satu film yang menurut saya sangat layak ditonton oleh seluruh masyarakat adat Papua.Kenapa? karena menurut saya, film ini sangat sesuai dengan kondisi yang sedang atau akan dihadapi masyarakat adat Papua saat ini dan beberapa waktu ke depan.(Anda bisa nonton Film ini di link https://youtu.be/zrmYxMWXL3A )
 Cerita film "The Burning Season- The Chico Mendes Story" ini, seperti yang ditulis oleh Max Andrew Ohandi di Kompasiana...
Pada awal film itu diperlihatkan bagaimana seorang lelaki yang sudah setengah baya dan anak lelakinya menelusuri sungai dengan menggunakan perahu kecil demi menjual beberapa kilo getah karet yang sudah kering kepada seorang tengkulak di kota. Meskipun harga jual yang ditawarkan begitu rendah, lelaki tua itu dengan rela menerima beberapa kepingan Cruzeiro setelah dikurangi hutang-hutangnya pada tengkulak. Sementara anak lelakinya melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana perihal penjualan getah karet pada ayahnya ketika mereka selesai bertransaksi. Mungkin anaknya menyadari bahwa ayahnya telah dicurangi oleh tengkulak tersebut, dan ayahnya tidak menanggapinya karena ayahnya merasa tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan getah karet tersebut.
Itulah gambaran sepenggal kehidupan orang Chacoeira, Brazil sekitar tahun 1950-an yang coba dilukiskan dalam Film “Burning Season”. Sebagian masyarakat Chacoeira menggantungkan hidupnya pada penyadapan getah karet. Menyadap getah karet bisa dikatakan salah satu mata pencaharian yang utama bagi mereka. Dengan sebilah pisau yang digunakan untuk mengelupas kulit pohon karet hingga terlihat cairan puith kental yang keluar mengikuti alur guratan pisau dan mengumpul dalam sebuah wadah yang terbuat dari tempurung kelapa. Begitulah teknik yang sederhana dalam menyadap getah karet. Oleh karena itu keberadaan pohon-pohon karet akan berkaitan erat dengan kelangsungan hidup masyarakat Chacoeira.
Namun sekitar tahun 1980-an, kelangsungan hidup orang Chacoeira mulai ternacam seiring dengan penebangan-penebangan pohon yang dilakukan oleh pemerintah yang bertujuan untuk pembuatan jalan dan peternakan.
Lahirnya Gerakan Kemasyarakatan
Sejumlah anggota masyarakat Chacoeira berkumpul dalam sebuah gereja. Semua jemaat gereja memperlihatkan ekspresinya masing-masing, ada yang serius, mengantuk dan mungkin tidak mengerti sama sekali. Mereka bukan sekedar mendengar ceramah dari seorang pastor tetapi mendengar ceramah dari seorang perintis Serikat Pekerja Chacoeira yang bernama Wilson Pinheiro. Dari ceramahnya yang mengebu-gebu dan menyisipkan pesan-pesan Yesus atas penebangan-penebangan pohon karet. Dan dengan analogi sebatang ranting pohon akan mudah dipatahkan ketimbang seikat ranting pohon yang ditunjukan kepada jemaat geraja. Wilson Pinheiro berhasil mengambil emosi jemaatnya dan berhasil mendukungnya untuk melakukan aksi koletif dalam melawan dan mencegah aksi-aksi penebangan pohon karet yang sedang berlangsung di Chacoeira.
Serikat Kerja Chacoeira yang terdiri dari para pemuda dan orang tua setengah baya berhasil menghalau penebangan yang dilakukan oleh pemerintah yang bekerjasama dengan elit Desa yakni seorang tuan tanah sekaligus pemilik peternakan domba.
Namun aksi kolektif tersebut menimbulkan ancaman pembunuhan disimbolkan oleh kepala kambing segar yang tergantung didepan pintu rumah. Bagi Wilson ancaman tersebut tidak meluluhkan tekadnya untuk melakukan aksi perlawanan. Dan pada suatu ketika Wilson Pinheiro ditembak mati oleh salah seorang kaki tangan penentang aksi perlawanannya. Kematian Wilson Pinheiro tidak menyurutkan perlawanan Serikat Pekerja Chacoeira, layaknya pepatah hutang nyawa dibayar dengan nyawa. Orang pemerintah pun mati ditangan pendukung Serikat Pekerja Chacoeira.
Siapakah Chico ?
“…Hanya satu hal yang saya inginkan, kematian saya akan menghentikan impunitas terhadap para pembunuh yang dilindungi oleh polisi Acre…Seperti saya, para tokoh penyadap karet telah bekerja menyelamatkan hutan hujan Amazon, dan membuktikan, kemajuan tanpa penghancuran adalah mungkin”. (Chico Mendes)
Francisco Alves Mendes Filho Cena, atau yang lebih dikenal sebagai Chico Mendes di dilahirkan di Chacoeira, Brasil pada tanggal 15 Desember 1944.
Chico Mendes adalah seorang buta-huruf yang bekerja dan hidup sebagai penyadap karet. Ia mewarisi pekerjaan itu oleh ayahnya. Selain itu ia juga aktivis lingkungan dan anggota serikat buruh. Ia pernah menjabat sebagai presiden gabungan pekerja-pekerja lokal yang berjuang gigih untuk menyelamatkan hutan dari pengusaha yang tamak. Sejak kecil ia selalu dihadapkan kepada penderitaan dan tekanan yang dihadapi para penyadap getah karet.
Kondisi para pekerja penyadap getah karet pada saat itu sangat memprihatinkan. Para pengusaha menjadikan mereka sebagai robot-robot pekerja. Harga jual dijatuhkan, pemberian upah sangat tidak manusiawi agar para penyadap tetap hidup pada kemiskinan. Tidak hanya sampai disitu, seiring dengan program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah, pohon-pohon karet dihutan Amazon diberangus. Ditebang secara liar, demi pembangunan dan kepentingan investor asing.
Menjelang dewasa, Chico mendidik dan memberikan penyadaran kepada masyarakat penyadap getah karet atas hak-hak mereka. Secara bertahap Chico mampu mengorganisir masyarakat hingga akhirnya ia terpilih sebagai presiden serikat pekerja Xapuri, menggantikan pendahulunya, Wilson Pinhiero, yang terbunuh atas tindakannya yang dianggap mengancam kepentingan pemerintah korup dan para pengusaha yang rakus.
Chico bergerak bersama masyarakat memprotes kebijakan pemerintah dan menolak pengusaha rakus dari program pembangunan jalan dan peternakan dengan menggunduli hutan secara liar. Chico bergerak dengan strategi perlawanan tanpa kekerasan. Salah satunya aksi massa yang dihadiri oleh ratusan orang, baik itu laki-laki, perempuan bahkan anak-anak, dengan cara mendatangi para penebang dan mendorong mereka untuk menghentikan aktifitas penebangan.
Musuh Mendes yang paling berbahaya adalah Darly Alves da Silva, seorang peternak yang sudah berpindah dari negara bagian selatan Panama ke Acre sejak 1974. Alves hidup di atas tanah seluas 10.000 are. Sejak 1950-an, Alves dan keluarganya telah mempunyai kebiasaan membunuh, meskipun berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Jika seseorang mengganggu keluarga Alves, biasanya, orang tersebut akan mati.
Pada tahun 1987, setelah dihubungi oleh Pertahanan Lingkungan dan National Wildlife Federation, Mendes terbang ke Punjab, India dalam upaya untuk meyakinkan Inter-American Development Bank bahwa proyek mereka jalankan di kawasan itu akan berakhir pada bencana, kecuali yang dibutuhkan mempertimbangkan pelestarian hutan dan mata pencaharian penduduknya.
“Pada awalnya saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan pohon karet, maka kupikir aku sedang berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Sekarang saya menyadari saya berjuang untuk kemanusiaan”(Chico Mendes).
Beribu-ribu petani karet dan keluarga mereka masih hidup dalam ketakutan di dalam hutan. Atas dasar kondisi realita yang sedang terjadi itu. Pada tahun 1988, Mendes meluncurkan kampanye untuk menghentikan peternak Darly Alves da Silva dari penebangan daerah yang direncanakan cadangan.  Metode perjuangan Chico tidak menggunakan senjata. Baginya, penggunaan senjata bukan cara terbaik dalam melakukan aksi perlawanan karena dengan senjata akan berdampak pada kematian bagi kedua belah pihak yang masing-masing adalah saudara mereka sendiri.
Maka dari itu setiap aksi yang dilakukannya, Chico hanya mengandalkan retorika kata-kata yang digunakannya sebagai senjata dalam melakukan perlawanan. Meskipun perlawanan tanpa senjata ini harus dibayar dengan kematian teman-teman seperjuangannya akan tetapi Chico tidak berusaha untuk membalasnya dengan nyawa juga. Chico Mendes telah membuktikan kata-kata adalah senjata.
Walaupun pada akhir perjuangan itu pula harga yang harus dibayar adalah dengan kematian seorang Chico Mendes. Untuk mengenang jasa-jasanya maka wilayah hutan Chacoeira dijadikan Taman Nasional Chacoeira yang diumumkan secara resmi oleh pemerintah Brazil.
Sekarang saatnya orang Papua berubah dan bangkit, saling mengingatkan untuk melawan hal-hal yang membodohi. Lupakan mimpi untuk menjadi jagoan seperti Rambo atau simata Buta dari Goa Hantu, karena itu hanya halusinasi orang di luar sana. Kalau ingin nonton film, tontonlah film-film yang menginspirasi, dari sebuah kisah nyata. Sekarang ada banyak film-film inspirasi yang diproduksi, bahkan oleh anak-anak Papua sendiri melalui Papuan Voices, dan beberapa kelompok lainnya. Kitapun sebenarnya bisa membuat sendiri, karena sudah dipermudah dengan teknologi yang ada saat ini.*)
Oleh : Ab Yomo

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ingin Sepakbola di Manokwari Kembali Bergairah, Perseman All Star Berkumpul di Borarsi

Manokwari,- Sepakbola di Tanah Papua sebenarnya bukan hanya bicara soal kebugaran, bukan soal prestasi, bukan soal sejarah, bukan soal uang dan bukan soal ketenaran. Tapi bicara sepakbola di Tanah Papua adalah bicara soal identitas, jati diri dan harga diri anak-anak yang lahir di Tanah Papua. Karena itu, ketika gema sepakbola sudah tidak terdengar lagi dalam beberapa tahun di Kota Manokwari, tempat kelahiran salah satu bintang sepakbola  Papua dan Nasional Adolof Kabo, orang sejagat Manokwari Raya bertanya-tanya, ada apa dengan Perseman? kenapa sepakbolanya tak terdengar lagi? kemana orang-orang yang mengurus sepakbola di Manokwari? dan berbagai pertanyaan lainnya. Hal ini kemudian mengusik dan sangat mengganggu telinga mantan-mantan pemain Perseman Manokwari. Melalui Paulus Krey, Elisa Anderi, Ferry Hurulean, Marchell Brian Rumaikewi dan sejumlah mantan pemain Perseman, kemudian menginisiasi pertemuan kecil di pinggir lapangan Borarsi Manokwari, kemudian berlanjut pada pertemuan di p

Tampil Pada Iven Internasional, Dampaknya Besar Bagi Pembangunan Papua

Penjabat Gubernur Provinsi Papua,DR.Drs. Syamsul Arief Rivai,MS  , ketika menyaksikan tarian Yospan yang ditampilkan anak-anak Papua di pameran Pariwisata Internasional ITB Berlin Berlin- Menampilkan budaya dan potensi alam Papua di Ivent Internasional mempunyai pengaruh dan dampak yang sangat besar untuk pembangunan Papua ke depan. Demikian diungkapkan  Penjabat Gubernur Provinsi Papua,DR.Drs. Syamsul Arief Rivai,MS usai menyaksikan tarian Yospan yang ditampilkan mahasiswa-mahasiswa Papua pada  pameran Pariwisata Internasional ITB Berlin,di Messe Berlin, Jerman, Sabtu(10/3). “ Bukan saja untuk orang Papua, tetapi menunjukkan kepada dunia, bahwa salah satu Provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Papua mempunyai sumber daya budaya yang teramat sangat besar dan itu yang akan kita jadikan sebagai entry point dalam rangka membangun karakter anak-anak Papua agar bisa menjadi harapan Papua di masa yang akan datang,” tandas Penjabat Gubernur Provinsi Papua ini. Kata Gubernur, bahwa dalam

Kampung Kwowok , Ekonomi Sagu dan Hubungannya Dengan Alam

Pagi itu, Jumat(21/11/2020), Mama Nelce Srekeflat dan suaminya Simson Sagisolo ditemani anaknya yang bungsu sekitar 10 tahun menyusuri jalan raya dari Kampung Kwowok menuju pertigaan Kampung Sira dan Manggroholo. Mereka berjalan kaki sejauh 3 kilometer di atas jalan yang sebagiannya dari timbunan karang dan sebagian lagi dari rabat beton. Ditemani seorang Pemuda kampung bernama Agus Wagarefe, kami mengikuti perjalanan keluarga ini selama 30 menit menuju pertigaan Sira Manggroholo. Sebelumnya saya berada di Kampung Kwowok Distrik Saifi Kabupaten Sorong Selatan untuk mencari jaringan internet, dan akan kembali ke tempat tinggal saya di Kampung Sira yang tidak ada jaringan internetnya. Sedangkan Bapak Simson Sagisolo dan istrinya, berjalan ke pertigaan Sira dan Manggroholo mencari mobil angkutan umum (taxi) untuk mengangkut sagu dari kampungnya ke Pasar Ampera Teminabuan. “ Sopir-sopir dong tidak mau masuk ke Kampung Kwowok, karena jalan masih rusak, kecuali kalau orang pake (carter),