Pagi itu, Jumat(21/11/2020), Mama Nelce Srekeflat dan suaminya Simson Sagisolo ditemani anaknya yang bungsu sekitar 10 tahun menyusuri jalan raya dari Kampung Kwowok menuju pertigaan Kampung Sira dan Manggroholo. Mereka berjalan kaki sejauh 3 kilometer di atas jalan yang sebagiannya dari timbunan karang dan sebagian lagi dari rabat beton. Ditemani seorang Pemuda kampung bernama Agus Wagarefe, kami mengikuti perjalanan keluarga ini selama 30 menit menuju pertigaan Sira Manggroholo.
Sebelumnya saya berada
di Kampung Kwowok Distrik Saifi Kabupaten Sorong Selatan untuk mencari jaringan
internet, dan akan kembali ke tempat tinggal saya di Kampung Sira yang tidak
ada jaringan internetnya. Sedangkan Bapak Simson Sagisolo dan istrinya,
berjalan ke pertigaan Sira dan Manggroholo mencari mobil angkutan umum (taxi) untuk
mengangkut sagu dari kampungnya ke Pasar Ampera Teminabuan.
“ Sopir-sopir dong
tidak mau masuk ke Kampung Kwowok, karena jalan masih rusak, kecuali kalau
orang pake (carter),” kata Simson Sagisolo.
Hal itu yang menyebabkan Simson dan istrinya berjalan kaki ke pertigaan Sira dan Manggroholo, agar mendapatkan taxi untuk mengangkut tiga sak sagu miliknya dan menjualnya di Pasar Ampera Teminabuan. Ternyata itupun tidak mudah, karena lebih dari satu jam kami menemani Bapak Sagisolo dan istrinya di pertigaan itu, tak ada mobil yang bisa dipakai.
Kalaupun ada mobil
yang lewat, itu sudah dipakai oleh orang dari kampung lain. “Biasanya mobil
lancar. Tapi sepertinya hari ini ada kampanye bupati, jadi orang pakai mobil,”
jelas Simson lagi setelah berkomunikasi dengan salah satu sopir yang sedang
dipakai mobilnya oleh orang lain.
Namun beruntung bagi
Simson dan istrinya, selang beberapa menit kemudian ada sebuah mobil avansa
yang masuk membawa penumpang ke Kampung Sira, sehingga mobil itu yang dipakai
untuk mengangkut sagu tiga karung di Kampung Kwowok.
Saya penasaran untuk melihat tempat mereka menjual sagunya di Teminabuan, jadi saya ikut lagi mobil itu.Kami pakai mobil itu kembali ke Kwowok, mengangkut tiga karung sagu, lalu keluar Kampung Kwowok menuju Teminabuan. Biaya taxinya Rp 30 Ribu dari Kampung Sira ke Pasar Ampera Teminabuan. Kalau masuk ke Kampung Kwowok tambah 10 ribu,jadi ongkos per orangnya Rp 40 Ribu untuk sampai di Teminabuan.
Kurang lebih satu jam perjalanan, kami tiba di Pasar Ampera. Bapa Simson dan anaknya pergi ke tempat lain, sedangkan Mama Nelce memindahkan tiga karung sagunya di depan sebuah toko yang berseberangan dengan Kantor Pos.
Mama jual sagu di sini? “Iya, mama dong dari kampung itu biasa jual sagu di sini,” ucap Mama Nelce. Nampaknya jalan yang berada depan Kantor Pos Teminabuan hingga terhubung ke Pasar Ampera ini adalah tempat jualannya mama-mama dari Distrik Saifi, Seremuk, Salkma dan Sawiat. Ada yang jualan sayur, ubi-ubian, pisang bahkan Daun Gatal. “ Kalau di sini, tempat untuk jual sagu,” jelas Mama Nelce menunjuk tempatnya berjualan sagu yang berada di depan sebuah Toko.
Tanpa atap pelindung,
tentu tak nyaman bagi Mama Nelce dan seorang ibu dari kampung lain yang
menjajakan sagunya. Saat sengatan matahari membakar kulitnya, kedua ibu ini
kemudian berlindung di group mama-mama yang berjualan sayuran. Karena tempat
jualannya memiliki atap, jadi aman dari terik matahari.
Tak seperti jualan
gorengan, para penjual sagu sepertinya harus panjang sabar menanti pembeli.
Setelah 4 jam Mama Nelce berdiri, duduk maupun berpindah-pindah tempat, akhirnya
ada seorang pembeli yang membeli satu karung sagu seharga Rp 200 Ribu. Sudah
jam 5 sore, satu karung sagu belum laku, apakah dibawah pulang atau dijual
murah kepada para penadah sagu di Pasar Ampera?” Mama Nelce memilih untuk
membawa sagunya ke penada sagu. Walaupun dijual murah Rp 100 Ribu,itu pilihan
yang biasanya diambil, karena tak ingin memikul sagu yang berat itu kembali ke
kampung. Apalagi dengan kondisi jalan dan transportasi yang tidak
menguntungkan.
Hasil jualan sagu itu
sebagian dipakai untuk membeli Gula, Minyak Goreng, Garam dan beberapa
kebutuhan pokok. Sedangkan sebagian lagi ditabung untuk membiayai sekolah
anaknya yang berada di SMP dan SMA. “ Bukan hanya itu, Bapa dengan mama juga
biasa simpan uang untuk bantu orang dalam pembayaran harta,” kata Bapa Simson.
Karena itu, bagi Bapa Simson dan Mama Nelce, Sagu tidak hanya mereka makan, tapi juga dijual untuk membantu keuangan keluarganya. Pendapatan lainnya yang biasanya ikut membantu keluarganya adalah dari honor sebagai aparat kampung yang diterimanya per triwulan atau tiga bulan sekali. “ Sebenarnya ada sayur genemo, pisang, singkong, tapi itu tidak dapat untung. Mungkin sagu saja yang bisa dapat uang besar,” jelasnya.
Salah satu tokoh
masyarakat Kampung Kwowok, Lewi Sagisolo mengatakan, perjalanan yang dilalui
Mama Nelce untuk menjual sagu ke pasar Teminabuan merupakan gambaran umum yang
dihadapi semua warga Kampung Kwowok. Namun tak hanya sagu, semua hasil kebunnya
juga sama, tidak memberi keuntungan. Kesannya seperti barter hasil kebunnya
dengan uang transport dan sembako. Jadi tidak ada untung di sini.
Meski demikian, lanjut
Lewi, tradisi untuk menanam sagu, menokok dan menjadikan papeda harus selalu
hidup dalam kebudayaan mereka. Sagu bagi mereka adalah kehidupan, tanpa sagu
tak ada kehidupan. Itulah ajaran yang diturunkan para leluhurnya, dan ajaran
itu akan diteruskan juga kepada anak-anak mereka.
“ Biar anak-anak pergi
sekolah ke luar, kami orang tua selalu kase ingat, jangan lupa sagu. Orang
tebang sagu untuk jual atau makan papeda, jangan lupa untuk tanam lagi. Supaya
sagu itu tetap ada, orang Papua juga bisa tetap hidup,” tandasnya.
Tokoh Masyarakat lainnya, Yance Kemesfle berharap pengetahuan local dapat diajarkan kepada anak-anak generasi sekarang. Bukan saja tentang cara tebang, tokok dan ramas sagu, namun banyak pengetahuan local lainnya yang harus mereka tahu, seperti cara tangkap ikan dan udang di sungai, cara menanam di kebun, dan sebagainya. “ Kalau tidak diajarkan sekarang, selesai sudah, semuanya akan hilang,” ucap Yance.
Kepala Kampung Kwowok,
Semuel Kolin menambahkan, nama Kwowok berasal dari nama sebuah pohon, marga
Kolin juga dipercayai memiliki asal usul dari pohon Merbau. Jadi cerita ini
terus diceritakan pada setiap generasi, sehingga mereka tidak sembarang. Semua
yang ada di ala mini punya hubungan dengan kita manusia yang hidup, jadi harus
selalu kase ingat anak-anak generasi sekarang, biar mereka tahu.
Dengan demikian maka
tak heran jika ekosistem hutan di wilayah Kwowok masih tetap lestari, karena
kepercayaan bahwa alam memiliki hubungan pribadi dengan mereka masih ada sampai
hari ini. Sagu telah menjadi salah satu
tanaman penting yang wajib dibudidayakan pada lahan-lahan marga di Kampung
Kwowok. Selain sebagai penanda kepemilikan dusun, tanaman sagu telah
berkontribusi dalam menjaga ekosistem alam di Kampung Kwowok dan sekitarnya. (abe yomo)
Comments
Post a Comment