Sorong,- Kalimat “Paitua di Atas” berulang kali diucapkan Keliopas Kalami, pemuda asli suku Moi yang mendiami Kampung Malaumkarta.
“ Kalau barang
itu Pendeta sudah berdoa, baru ko langgar, berarti nanti ko berurusan dengan
Paitua di Atas,” seperti itulah kira-kira cuplikan singkat dari
beberapa pernyataan Keliopas Kalami, saat diskusi bersama sejumlah pejabat dari
Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah (Balitbangda) Provinsi Papua Barat saat mengikuti Fieldtrip Econusa, di
Pantai Malaumkarta,Sabtu(20/3/2021).
Kalimat “Paitua di Atas” merupakan
istilah yang umum dipakai warga setempat untuk merujuk kepada Tuhan Allah di
Sorga (Kepercayaan Iman Kristen). Jadi ketika ada warga setempat yang mengalami
sakit bahkan sampai meninggal, dipercayai sebagai bagian dari kehendak Tuhan
Yang Maha Kuasa/Tuhan Allah di Sorga/ Paitua di Atas.
Artinya siapa saja yang merusak alam ciptaan Tuhan, dipercaya akan menerima sanksi dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahkan apa yang sudah didoakan oleh seorang Pendeta, dinilai memiliki konsekuensi yang tinggi apabila dilanggar. Sehingga jangan heran, ketika orang se-Malaumkarta Raya begitu mencintai alamnya dan percaya itu adalah anugerah dari Paitua di Atas yang harus mereka kelola dengan baik dan mengembalikan ucapan syukur itu kembali untuk Paitua di Atas.
Dalam pertemuan bersama sejumlah Pemuda Malaumkarta yang difasilitasi
oleh Yayasan Econusa ini, Keliopas Kalami menjelaskan, bahwa tradisi sasi atau
egek yang dilakukan di Malaumkarta sudah didoakan oleh Pendeta. Karena itu,
ketika ada warga setempat yang mecoba melawan aturan itu dengan mencuri dan
melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur, maka diyakini pelanggar itu akan
menghadapi murka Allah,berupa sakit bahkan meninggal dunia.
Sasi merupakan larangan pemanfaatan atau pengambilan sesuatu dari alam dalam jangka waktu yang ditetapkan baik di darat maupun di laut. Sasi diterapkan oleh masyarakat adat yang tinggal di hampir seluruh Pulau Papua untuk menjaga sumberdaya alam mereka secara tradisional, termasuk di Malaumkarta Distrik Makbon Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Sasi bagi masyarakat Suku Moi di Kampung Malaumkarta
disebut sebagai Egek yang merupakan suatu adat dan budaya yang dilakukan secara
turun temurun oleh suku tersebut untuk menjaga sumberdaya alam wilayah mereka
khususnya jenis-jenis ikan. Adapun jenis yang di Egek adalah Lobster, Lola, Penyu dan Teripang. Selain jenis-jenis ikan, alat tangkap juga masuk
dalam Egek ini, seperti jaring, bom, potasium dan alat penangkapan ikan lainnya
yang merusak lingkungan laut (destructive fishing). “ Kalau mancing tidak masalah, asal jangan buang jaring,” tambah pemuda
lainnya.
Egek adalah suatu larangan terhadap wilayah zona inti dalam
wilayah Tanah Adat Marga pada hukum adat suku Moi. Egek dilaksanakan secara rutin
setiap tahunnya oleh masyarakat Kampung Malaumkarta untuk wilayah laut mereka.
Egek dilaksanakan dengan dua sistem yaitu tutup Egek dan buka Egek.
Tutup Egek dilaksanakan dalam jangka waktu satu tahun lamanya. Pada saat dilakukan tutup Egek, masyarakat setempat diperbolehkan menangkap ikan di wilayah Egek hanya dengan menggunakan nilon (longline) dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah tutup Egek ini, buka Egek akan dilaksanakan.
Setiap pelaksanaan tutup maupun buka Egek selalu
dilaksanakan melalui upacara adat. Awalnya Egek dilaksanakan oleh masyarakat
untuk menjaga sagu di sungai agar tetap lestari kemudian setelahnya dilakukan
Egek di laut khusus untuk jenis Lobster saja. Seiring berjalannya waktu jenis
Teripang, Lola dan Penyu juga dimasukkan
kedalam jenis yang di-Egek beserta alat tangkap seperti jaring, potassium, dan
bom.
Sejak tahun 1994, hasil Egek diserahkan ke gereja untuk
pembangunan gereja dan pembangunan pastori (rumah pendeta). Selain itu semua
hasil dari buka Egek diserahkan sepenuhnya ke pihak Gereja untuk dikelola.
Pelaksaan Ritual adat untuk buka Egek yang dilaksanakan
oleh anak-anak adat dari perwakilan masing-masing marga (nama keluarga) yang
ada di kampung ini. Marga-marga tersebut adalah Mubalen, Magablu, Malasamuk,
Kalami, Sapisa, Su, Salamala, dan Do. Anak-anak adat ini memakai kain adat di
leher dan berdiri menghadap ke semacam persembahan yang telah disiapkan yang
terdiri dari janur, nasi kuning, nasi putih, pinang, kapur, dan sirih. Kemudian
beberapa perempuan dari anak-anak adat menggantungkan kain adat di atasnya
persembahan tersebut. Setelah selesai menggantungkan kain adat, persembahan
kemudian dibawa menuju laut untuk dihanyutkan seiring doa kepada Yang Kuasa
dalam bahasa Moi.
Maksud dari ritual ini adalah agar pada saat masyarakat melakukan penangkapan dapat memperoleh hasil yang melimpah dan juga tidak mengalami gangguan atau hambatan hingga dilakukan tutup Egek nantinya. Pada bagian akhir, ketika semua ritual buka Egek dilaksanakan maka kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin langsung oleh Pendeta Jemaat GKI Silo Malaumkarta.
Salah satu pemuda Malaumkarta, Robert Kalami menambahkan, Sasi atau Egek
adalah sistem konservasi tradisional yang dipraktekan oleh masyarakat di Malaumkarta
Raya. Bukan saja di laut, tapi di darat juga demikian. “Saat ini kami lagi dorong untuk membuat
peraturan bersama lima kampung di Malaumkarta Raya (Kampung Mibi, Malaumkarta,
Suatut, Suatolo dan Malagufuk). Intinya peraturan ini diharapkan dapat
mengakomodir aspek pengelolaan sumber daya alam, peningkatan ekonomi,
peningkatan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang baik untuk masa depan
generasi Malaumkarta Raya,” tandasnya.
Sekadar diketahui, waktu tempuh dari Kota Sorong ke Malaumkarta kurang lebih 1 jam 30 menit, menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Kampung ini juga sangat terkenal dengan Pulau Um-nya, yang menjadi tempat singgah ribuan kelelawar. Pantainya yang indah, bersih, tenang dan berpasir halus menjadi tempat yang layak untuk dikunjungi wisatawan. Di pantai Malaumkarta juga telah dibangun sejumlah fasilitas seperti toko dan beberapa toilet, namun belum digunakan. Diharapkan semua yang sudah dibangun itu dapat dimanfaatkan, sehingga ekonomi warga setempat bisa tumbuh dengan baik.
Comments
Post a Comment